Minggu, 23 Agustus 2009

PUISI - PUISI MALAM



bersepih - sepih

berpilu - pILU
pada cinta yang tak pernah kau anggap,
bahkan ini semua menghapus sendiri,
pernah menangis dia,
tapi tak pernah sadar tentang begitu dalamnya,
ini semua,,,

PEMBUATAN BIOGAS DARI KOTORAN KUDA DAN SAMPAH ORGANIK




Biogas merupakan gas hasil aktivitas biologi melalui proses fermentasi anaerob dan merupakan energi terbarukan, karena ketersediaannya dapat diperbaharui. Penelitian yang dilakukan menggunakan tiga macam variasi bahan baku yaitu kotoran kuda, sampah pasar, dan campuran antara kotoran kuda dan sampah pasar. Pengamatan meliputi besarnya produksi biogas, komposisi biogas, nilai rasio C/N, dan tekanan untuk setiap bahan baku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan bahan baku 1 kg selama 16 hari kotoran kuda dapat memproduksi biogas paling baik, karena telah mengalami proses degradasi terlebih dahulu dalam perut hewan, sehingga gas metana mudah terbentuk. Sedangkan sampah pasar juga dapat menghasilkan biogas, tetapi kecil, oleh karena itu perlu ditambah dengan kotoran kuda. Nilai rasio C/N untuk kotoran kuda adalah 25 dan untuk sampah organik 12, sedangkan untuk campurannya sebesar 18,5. Tekanan gas terbesar adalah 1,16 atm untuk kotoran kuda dan campurannya dengan sampah pasar. Sedangkan untuk sampah pasar tekanan gas sebesar 1,14 atm.
1. Pendahuluan
Sumber energi dapat berasal dari matahari, bahan bakar minyak, gas alam, dan kayu bakar. Energi tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak dan penerangan, kepentingan yang lebih besar seperti industri serta pengolahan hasil-hasil pertanian.
Pada umumnya, di daerah pedesaan, orang menggunakan sumber energi dari kayu bakar sebagai bahan bakar. Hampir setiap waktu penduduk desa mencari kayu bakar yang dapat diperoleh dari hutan dan gunung tempat mereka tinggal untuk mencukupi kebutuhan energinya.
Secara teoritis pertambahan penduduk yang cepat, khususnya di Jawa dan Madura akan menyebabkan kebutuhan kayu bakar menjadi meningkat pula. Usaha-usaha untuk mencukupi kebutuhan kayu bakar ini dikhawatirkan mengakibatkan; hutan-hutan dan gunung menjadi gundul, hilangnya tempat penahanan dan penyimpanan air di musim kemarau, terjadinya banjir di musim hujan, hilangnya kesuburan tanah, dan rusaknya tata lingkungan hidup.
Di lain pihak, di Indonesia terdapat energi yang sampai sekarang masih belum dimanfaatkan secara maksimal, yaitu energi gas. Energi ini antara lain dapat berasal dari proses degradasi bahan organik seperti kotoran ternak, kotoran manusia, sampah, dan sisa-sisa limbah lainnya, dan gas ini biasanya disebut sebagai biogas.
Pemanfaatan kotoran ternak selain dapat menghasilkan biogas untuk bahan bakar juga membantu kelestarian lingkungan dan memperoleh manfaat-manfaat lain seperti; pupuk yang baik bagi tanaman dan kehidupan di dalam air (aqua kultur), mencegah lalat, bau tidak sedap yang berarti ikut mencegah sumber penyakit, waktu dan tenaga yang digunakan untuk mencari kayu bakar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Selain pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi biogas, bahan lain yang dapat dimanfaatkan adalah sisa-sisa limbah padat seperti sampah yang dihasilkan dari rumah tangga, pasar, dan tempat-tempat lain. Pemanfaatan sampah sebagai energi biogas juga dapat membantu mengurangi permasalahan pembuangan sampah yang selama ini menjadi masalah yang cukup sulit diatasi, terutama di kota-kota besar.
Dengan kondisi tersebut di atas, maka maksud dan tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan atau mengubah kotoran kuda dan sampah pasar menjadi bahan yang bermanfaat yaitu bahan bakar gas (biogas).
1. Biogas dan Komposisinya
Proses degradasi limbah pertanian, kotoran hewan, dan manusia atau campurannya yang dicampur dengan air dan ditempatkan dalam tempat yang tertutup sehingga dalam kondisi anaerob akan membentuk biogas (Ariono, 1982). Keadaan anaerob ini dapat terjadi secara alami. Untuk mendapatkan kondisi anaerob yang lebih baik dengan hasil biogas yang lebih banyak, perlu dilakukan secara buatan yaitu dalam suatu digester atau unit pencerna biogas.
Biogas merupakan campuran dari berbagai jenis gas yang mempunyai kandungan metana dengan proporsi terbesar. Nilai kalor gas metana murni (100%) adalah 8900 kkal/m3.
Penelitian yang dilakukan oleh Harahap (1984) dengan bahan baku kotoran sapi menghasilkan biogas dengan komposisi sebagai berikut; 54 sampai 70% metana, 27 sampai 45% karbondioksida, 0,5 sampai 3,0% nitrogen, 0,1% karbonmonoksida, 0,1% oksigen, dan sedikit sekali hidrogen sulfida. Nilai kalor yang diperoleh antara 4800 – 6700 kkal/m3.
Menurut Karsini (1981) biogas yang dihasilkan dari kotoran hewan mempunyai komposisi 60% - 70% metana, 30%-40% karbondioksida, sejumlah kecil hidrogen sulfida (0,1%), dan gas-gas lain yang terdapat dalam jumlah terbatas seperti hidrogen, amoniak, dan nitrogen oksida.
2. Proses Pembentukan Biogas dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Menurut C. John Fry (1973) proses degradasi bahan organik baik secara aerobik maupun anaerobik, diperoleh hasil dalam fase gas dan suspensi padat-cair. Proses degradasi secara aerobik dengan cukup oksigen, dapat berlangsung secara alamiah atau secara tiruan, misalnya dalam proses pembuatan kompos untuk pupuk. Sedangkan proses degradasi secara anaerobik dengan oksigen terbatas, juga dapat berlangsung secara alamiah atau tiruan. Misalnya proses yang berlangsung secara alamiah terjadi dalam perut binatang atau manusia, dan secara tiruan proses degradasi terjadi dalam bak pencerna dengan bahan baku sampah organik.
Noegroho Hadi (1980), mengemukakan bahwa pembentukan biogas merupakan proses biologis. Penggunaan bahan baku yang berupa bahan organik, berfungsi sebagai sumber karbon dan nitrogen merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan mikroorganisme.
Secara garis besar reaksi kimia proses dekomposisi anaerobik pembentukan biogas dengan komposisi utamanya adalah gas metana dapat dibagi menjadi tiga tahap proses yaitu:
1. Tahap pelarutan bahan-bahan organik, bahan padat yang mudah larut atau yang sukar larut akan berubah menjadi senyawa organik yang larut.
2. Tahap asidifikasi atau pengasaman, merupakan tahap terbentuknya asam-asam organik dan pertumbuhan atau perkembangan sel bakteri.
3. Tahap metanogenik, merupakan tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan metana.
Menurut Sihombing (1980), pada umumnya di dalam kotoran hewan seperti kotoran sapi, kuda, kerbau, babi, ayam, dan sebagainya sudah banyak mengandung mikroorganisme yang dapat mengubah limbah organik sampai menjadi biogas. Oleh karena itu proses pembuatan biogas dari kotoran hewan tidak perlu menambahkan mikroorganisme secara khusus, misalnya dengan biakan murni, namun cukup dengan mengatur kondisi operasinya agar pertumbuhan dan proses fermentasinya berlangsung dengan optimal.
Menurut Saubolle (1978) proses pembuatan biogas dari kotoran sapi konsistensi umpan yang baik berkisar 8-10% dan biogas yang terbentuk kurang lebih setelah 1 minggu. Secara umum kondisi operasi yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Temperatur
Perkembangbiakan bakteri sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pencernaan anaerobik dapat berlangsung pada kisaran 5oC sampai 55oC. Temperatur kerja yang optimum untuk penghasil biogas adalah 35oC.
b. Derajat Keasaman (pH)
Pada awal pencernaan, pH bahan dalam tangki pencerna dapat turun menjadi 6 atau lebih rendah, merupakan akibat dari degradasi bahan organik oleh bakteri aerobik. Kemudian pH mulai naik disertai perkembangbiakan bakteri pembentuk metana dan hasil pencernaan yang optimum adalah pada pH 6,8 sampai 8.
c. Pengadukan
Bahan baku yang sukar dicerna (misalnya, jerami yang mengandung senyawa lignin) dan sisa pencernaan akan membentuk lapisan kerak pada permukaan cairan. Lapisan ini dapat dipecah dengan alat pengaduk, sehingga hambatan terhadap laju biogas yang dihasilkan dapat dikurangi.
d. Bahan Penghambat
Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga berpengaruh terhadap jumlah biogas yang dihasilkan antara lain logam berat seperti tembaga, cadmium, dan kromium. Selain itu desinfektan, deterjen, dan antibiotik. Untuk menghindari hal-hal tersebut perlu diperhatikan air yang digunakan sebagai pelarut atau pencampur tidak mengandung bahan-bahan tersebut.
Anonim (1977) mengemukakan bahwa selain faktor-faktor terdahulu seperti yang dikatakan Saubolle, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi produksi biogas yaitu:
a. Bahan Baku Isian
Unsur karbon untuk pembentukan gas metana
digunakan sampah, limbah pertanian, dan kotoran hewan. Sedangkan unsur nitrogen diperlukan oleh bakteri untuk pembentukan sel. Perbandingan unsur karbon dan nitrogen (C/N) paling baik untuk pembentukan biogas adalah 30. Menurut Hadi dkk. (1982) rasio C/N untuk sampah mendekati nilai 12. Rasio C/N kotoran kuda dan babi adalah 25 lebih besar daripada sapi dan kerbau (18).
b. Pengenceran Bahan Baku Isian
Isian yang paling baik untuk penghasil biogas mengandung 7-9% bahan kering. Nilai rata-rata bahan kering dari beberapa kotoran hewan berkisar dari 11-25%. Oleh karena itu untuk setiap jenis kotoran hewan, pengenceran isian berbeda-beda agar diperoleh isian dengan kandungan bahan kering yang optimum.
c. Jenis Bakteri
Sahidu (1983) menerangkan bahwa bakteri yang berpengaruh pada pembuatan biogas ada dua macam yaitu bakteri-bakteri pembentuk asam dan bakteri-bakteri pembentuk gas metana. Bakteri pembentuk asam antara lain: Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak. Selanjutnya asam-asam lemak didegradasi menjadi biogas yang sebagian besar adalah gas metana oleh bakteri metana antara lain: Methanobacterium, Methanosarcina.
4. Metodologi
Kotoran kuda yang digunakan diambil dari daerah Pacuan Kuda Pulomas Jakarta Timur yang sekaligus menjaga kebersihan lingkungan. Sedangkan untuk sampel sampah diambil dari Pasar Pedongkelan Jakarta Utara berupa sayur busuk, buah-buahan busuk, daun pembungkus ikan, dan ampas kelapa yang dipisahkan dari bahan-bahan yang tidak dapat dicerna. Sampah dipotong kecil-kecil dengan pencacah berukuran kurang lebih 5 cm dan kemudian dihaluskan dengan blender untuk mempermudah proses reaksi.
Uji laboratorium yang dilakukan menggunakan sampel kotoran kuda, sampah organik, dan campurannya (1:1). Masing-masing sampel 1 kg dan diperlakukan dengan empat variasi pengenceran untuk mendapatkan komposisi bahan isian yang paling baik sehingga memperoleh biogas yang optimal. Air yang digunakan untuk mengencerkan adalah air sumur. Skema komposisi variasi pengenceran disajikan pada Gambar 1.
Proses pembuatan biogas dilakukan dengan sistem tumpak alami (batch, hanya sekali pengisian bahan baku pada awal percobaan).

Bakteri pembentuk gas metana tidak perlu ditambahkan karena sudah terdapat di dalam kotoran kuda.
Data yang diamati dan dikumpulkan meliputi: temperatur isian, pH bahan padatan, volume dan komposisi biogas yang terbentuk, dan tekanan biogas. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 16 hari. Kemudian dievaluasi data hasil penelitian ini.
Volume biogas yang terbentuk diukur dengan besarnya volume larutan NaCl yang dipindahkan, dan untuk komposisi biogas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas. Sedangkan tekanan biogas diukur dengan pipa U. Suhu dipertahankan mendekati stabil dengan memasukkan labu pencerna dalam penangas air yang bersuhu 35oC.
5. Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran produksi biogas kumulatif harian dari bahan baku dan pengenceran yang berbeda digambarkan pada Gambar 2. Sedangkan komposisi biogas yang dihasilkan dari bahan baku dan pengenceran yang berbeda disajikan pada Tabel 1.
5.1 Produksi Biogas Kumulatif
Pada Gambar 2 untuk kelompok I (bahan baku kotoran kuda) menunjukkan bahwa biogas mulai terbentuk pada umur isian bahan 2 sampai 4 hari kemudian produksi terus meningkat sampai umur isian 13 sampai 14 hari dan mulai berkurang sampai akhirnya tidak terdapat penambahan biogas.
Produksi biogas kumulatif yang memberikan hasil tertinggi selama 16 hari pengamatan adalah kelompok I-4 (pengenceran 500 mL) yaitu sebesar 400 mL. Sedangkan untuk produksi terendah adalah kelompok I-1 atau pengenceran 200 mL sebesar 170 mL. Kelompok I-3 produksi biogas sebesar 305 mL dan kelompok I-2 sebesar 220 mL. Dari hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa pengenceran 200-500 mL mempunyai pengaruh nyata terhadap pembentukan biogas.
Berbeda dengan produksi biogas pada kelompok I, produksi terbesar pada kelompok II terlihat pada pengenceran 300 mL (kelompok II-2) menghasilkan 210 mL selama 16 hari. Sedangkan produksi terkecil pada kelompok II-4 (pengenceran 500 mL) menghasilkan 36 mL.


Kelompok lainnya dengan pengenceran 200 mL (kelompok II-1) dan pengenceran 400 mL (kelompok II-3) menghasilkan produksi biogas sebesar 84 mL dan 122 mL. Hal ini berarti bahwa produksi biogas dengan menggunakan bahan sampah organik lebih kecil dibanding dengan penggunaan bahan kotoran kuda. Hasil perhitungan statistik untuk kelompom II sama dengan kelompok I yaitu pengenceran 200-500 mL mempunyai pengaruh nyata terhadap pembentukan biogas.
Hasil penelitian untuk kelompok III dengan bahan baku campuran kotoran kuda dan sampah organik menunjukkan bahwa produksi biogas untuk kelompok III-4 sebesar 51 mL terjadi pada umur produksi 4 dan 5 hari. Sedangkan produksi biogas untuk kelompok III-1 adalah sebesar 22 mL dengan umur produksi 6 hari. Dari gambar juga terlihat bahwa produksi biogas terbesar untuk kelompok III ini terjadi pada kelompok III-4 (pengenceran 500 mL) seperti pada kelompok I. Sedangkan produksi biogas terkecil pada kelompok III-1 yaitu dengan pengenceran 200 mL. Secara keseluruhan produksi biogas selama 16 hari untuk bahan penelitian campuran kotoran kuda dan sampah organik dengan pengenceran 200 mL, 300 mL, 400 mL, dan 500 mL, adalah 141 mL, 212 mL, 186 mL, dan 282 mL.
Apabila dibandingkan dari ketiga bahan baku dengan produksi biogas secara kumulatif menunjukkan bahwa kelompok I relatif lebih besar jika dibandingkan dengan bahan baku lainnya. Dari kelompok I hanya dua kelompok yaitu I-2 dan I-1 yang produksi biogasnya lebih rendah dari produksi biogas tertinggi pada kelompok III yaitu kelompok III-4. Sedangkan kelompok III yaitu campuran kotoran kuda dan sampah pasar meskipun relatif lebih kecil dari produksi biogas kelompok I (kotoran kuda) tetapi masih relatif lebih besar dari produksi biogas dengan bahan baku sampah organik.
Apabila kelompok III dibandingkan dengan kelompok II (sampah organik) hanya dua kelompok yaitu III-1 dan III-3 yang produksi biogasnya lebih rendah dari produksi biogas tertinggi pada kelompok II yaitu II-2. Perhitungan statistik untuk kelompok III sama dengan kelompok I dan kelompok II yaitu pada pengenceran 200mL sampai 500 mL mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pembentukan biogas.
1. Komposisi Biogas
Komposisi biogas yang dihasilkan untuk kelompok I, II, dan III yang dominan adalah gas metana dan karbondioksida dibanding gas yang lain sehingga dapat diabaikan seperti disajikan pada Tabel 1.
Untuk kelompok I-2 (pengenceran 300 mL) mempunyai komposisi gas metana terbesar yaitu 70,88%. Walaupun kelompok I-4 memproduksi biogas terbesar tetapi gas metana lebih kecil, sehingga akan lebih baik kalau dilakukan pengenceran 300 mL. Rata-rata komposisi biogas untuk kelompok I adalah metana 66,79% dan karbondioksida sebesar 33,21%.
Pada kelompok II komposisi metana terbesar terdapat pada kelompok II-3 (pengenceran 400 mL) yaitu sebesar 58,18%, sedangkan komposisi metana terkecil adalah sebesar 51,33% terdapat pada kelompok II-4 (pengenceran 500 mL). Rata-rata komposisi biogas untuk kelompok II adalah metana 53,51% dan karbondioksida sebesar 46,49%.
Komposisi biogas yang dihasilkan kelompok III sama dengan kelompok lainnya dengan bagian terbesarnya didominasi oleh metana dan karbondioksida. Selain itu terlihat juga bahwa komposisi gas metana terbesar terdapat pada kelompok III-1 (pengenceran 200 mL) dan komposisi gas metana terkecil terdapat pada kelompok III-2 (pengenceran 300 mL). Rata-rata komposisi biogas yang dihasilkan untuk kelompok III adalah metana 58,77% dan karbondioksida 41,23%.
Nilai rata-rata komponen gas metana untuk kelompok III bila dibandingkan dengan kelompok I relatif lebih kecil, tetapi kalau dibandingkan dengan kelompok II masih relatif lebih besar. Jadi komposisi biogas adalah fungsi dari bahan isian. Limbah selulosa akan menghasilkan gas metana dan karbondioksida dalam jumlah yang kira-kira sama banyaknya. Suatu limbah yang mengandung protein dan lemak akan menghasilkan gas dengan kandungan metana yang tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengenceran bahan isian mempunyai pengaruh terhadap komposisi biogas yang dihasilkan.





Tabel 1 Komposisi biogas dari bahan baku dan pengenceran berbeda


Komposisi biogas (%)
CH4 CO2
1. I – 1
I – 2
I – 3
I - 4 64,87
70,88
65,98
65,42 35,13
29,12
34,02
34,58
2. II – 1
II – 2
II – 3
II - 4 51,94
52,57
58,18
51,33 48,06
47,43
41,82
48,67
3. III – 1
III – 2
III – 3
III - 4 72,32
50,95
51,14
60,66 27,68
49,05
48,86
39,34

Catatan: dalam kelompok penelitian angka 1 = pengenceran 200 mL
angka 2 = pengenceran 300 m L
angka 3 = pengenceran 400 mL
angka 4 = pengenceran 500 mL


5.3 Perhitungan Nilai Rasio C/N
Nilai rasio C/N untuk kotoran kuda adalah 25 dan untuk sampah organik sebesar 12. Dari data ini terlihat bahwa rasio C/N kotoran kuda lebih mendekati nilai optimum (30) untuk pembentukan biogas. Oleh karena itu hasil penelitian dengan bahan kotoran kuda (kelompok I) relatif lebih tinggi dibanding dengan kelompok II (bahan dari sampah organik). Sedangkan untuk kelompok III dengan bahan penelitian adalah campuran kotoran kuda dan sampah organik, nilai rasio C/N adalah:

C/N campuran = (P1) x (C/N 1) (P2) x (C/N 2)
P1 = persentase bahan 1 dalam campuran
P2 = persentase bahan 2 dalam campuran
C/N 1 = nilai rasio C/N bahan 1
C/N 2 = nilai rasio C/N bahan 2

Dalam penelitian ini untuk kelompok III perbandingan kotoran kuda dan sampah organik adalah 0,5 kg : 0,5 kg atau 50% : 50%, sehingga:

C/N campuran = (50%) x (25) (50%) x (12)
= 12,5 6 = 18,5
Dari perhitungan tersebut rasio C/N campuran (18,5) terlihat bahwa kotoran kuda menaikkan rasio C/N sampah organik (12), tetapi masih lebih rendah dari rasio C/N kotoran kuda (25). Oleh karena itu biogas yang dihasilkan dari kelompok III (campuran kotoran kuda dan sampah organik) lebih besar dari kelompok II (sampah organik) tetapi lebih kecil dari kelompok I (kotoran kuda).

1. Tekanan Gas untuk Kelompok I, II, III
Pengukuran tekanan gas untuk kelompok ini menggunakan alat dengan prinsip pipa U. Hasil yang diperoleh dari masing-masing kelompok adalah:
Kelompok I – 1 s/d I – 4 : 8 mm
Kelompok II – 1 s/d II – 4 : 7 mm
Kelompok III – 1 s/d III – 4 : 8 mm
Tekanan relatif kecil karena bahan baku yang digunakan adalah 1kg. Dalam satuan atmosfer tekanan gas tersebut adalah sebesar 1,16 atm untuk kelompok I dan III, sedangkan untuk kelompok II adalah 1,14 atm.
Kesimpulan
Dari data hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Biogas mulai terbentuk pada hari ke 2 – 5 dan mulai kurang berproduksi pada hari ke 11 – 14 dengan bahan baku sebanyak 1 kg.
2. Produksi biogas tertinggi diperoleh dari bahan baku kotoran kuda dengan pengenceran 500 mL dan produksi terendah diperoleh dari sampah organik dengan pengenceran yang sama.
3. Produksi biogas selama 16 hari dengan empat variasi pengenceran adalah: untuk kotoran kuda berkisar antara 170–400 mL, untuk sampah organik antara 36–210 mL, dan untuk campurannya antara 141–282 mL.
4. Rata-rata komposisi biogas untuk semua variasi bahan baku adalah: untuk kotoran kuda kandungan metana sebesar 66,79% dan karbondioksida sebesar 33,21%, sedangkan untuk sampah organik kandungan metana sebesar 53,51% dan karbondioksida sebesar 46,49%. Untuk campuran kedua bahan baku kandungan metana sebesar 58,77% dan karbondioksida sebesar 41,23%.
5. Rasio C/N untuk kotoran kuda paling mendekati optimum yaitu 25, kemudian untuk campuran kotoran kuda dan sampah organik sebesar 18,5 dan sampah organik sebesar 12.
6. Tekanan gas terbesar adalah 1,16 atm untuk kelompok bahan baku kotoran kuda, juga untuk campuran kotoran kuda dan sampah organik, sedangkan untuk sampah organik tekanan gas yang dihasilkan adalah sebesar 1,14 atm.
Daftar Pustaka
Anonimous, 1977, Digester Gas Bio, Program Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia, Departemen Tenaga Kerja, Bandung.
Fry, C.J. dan R. Mevil, 1973, Methane Digester for Fuel Gas and Fertilizer, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
Hadi, Asmara, dan Ariono, 1982, Prarencana Pabrik Biogas dari Kotoran Sapi, Fakultas Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
Harahap, F. dan S. Ginting, 1984, Pusat Teknologi Pembangunan, ITB, Bandung.
Ihsan, Diyono, dan Dwi Handayani, 1986, Teknik Pembuatan Gas Bio dari Sampah, Fakultas teknik, UNDIP, Semarang.
Karsini, 1981, Biogas dari Limbah, Departemen Perindustrian Balitbang Industri Proyek Balai Pendidikan Industri, Jakarta.
Noegroho Hadi Hs., 1980, Teknologi Gas Bio sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa, LPL, No. IV tahun XIII, LEMIGAS, Jakarta.
Sahidu dan Sirajuddin, 1983, Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi, PT. Dewaruci Press, Jakarta.

Selasa, 18 Agustus 2009

SAMPAH DI GUNUNG


Sampah, nampaknya bukan hanya menjadi masalah di Bantar gebang atau Bojong, Kab. Bogor. Setelah pemerintah Bekasi bekerja sama dengan pemerintahan Jakarta dan memutuskan relokasi TPA Bantar Gebang ke Desa Bojong Kab. Bogor, masalah nampak nya masih belum selesai. Bentran terjadi disana-sini. Masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak untuk bersuara, digandeng beberapa LSM, Walhi dan pengacara secara kontinyu mendatangi kantor DPRD bahkan DPR. Malahan Kades Desa Bojong pun- rencananya akan di pilih ulang karena menolak untuk menandatangani surat pernyataan pembelaan terhadap rakyat Bojong.

Pelik memang. Ada banyak tokoh dan kepentingan disini. Disatu pihak pemerintah [pemda Jakarta raya, Bekasi,-red] ingin membuat suatu sarana penangulangan sampah yang mumpuni, dipihak lain, masyaarakat merasa dirugikan dengan hal tersebut. Sudah bisa dipastikan akan ada sederet masalah didepan mereka. Air bersih yang tercemar, penyakit kulit, udara kotor, dan masih setumpuk masalah lainnya akan siap menyerang dari segala penjuru.

Meski daiakui, tunpukan sampah juga membawa berkah buah sebagian orang. Di Bantar Gebang sendiri, berapa nyawa yang menggantungkan kehidupan pada tumpukan sampah. MEski dari segi kesehatan, memang sangatlah menggangu.

Apakah hal ini akan terjadi juga pada Gunung-gunung di Indonesia? Alun-alun Surya Kencana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [TNGP], misalnya. Sampah sudah bukan barang yang aneh lagi. Tumpukannya bisa di lihat dari sebelah timur, hingga kebarat. PAda sisi ini. konsentrasi nya malah sudah parah. Akses yang mudah terhadap sumber mata air sendiri, menjadikan sisi sebelah barat tempat yang ideal untuk berkemah dan mendirikan tenda. Hingga sisa bungkus makanan dengan sangat mudah di jumpai.

Sampah-sampah non organik yang paling banyak. PEmbungkus plastik, kaleng makanan, steroform, batu batarai bekas, hingga botol-botol minuman energi dan beralkohol dapat dengan mudah dijumpai. Dan jangan sahah, aroma nya juga menyengat. Belum lagi, mata air yang hanya satu-satunya di alun-alun Surya KEncana pun tidak lolos dari kelalaian para penikmat kegiatan alam bebas ini. Sampai dan sisa makanan dapat dengan mudah terlihat menga,bang pada mata air semata wayang itu. Dan jangan salah juga, bahwa setiap nyawa disini menggantungkan hidup dan kebutuhan air pada mata air tersebut.

Pencinta Alam, atau mereka yang menyatakan diri sebagai pendaki, [setidaknya yang pernah menginjakkan kaki di sini-red] memegang andil dalam terciptanya lingkungan yang tidak sehat ini. Mereka adalah penymbang terbesar dari ketidakstabilan ekosistem di alun-alun Surya Kencana. Dan buka tidak mungkin, hilangnya mencek dan Babi jutan yang dulu kerap kali terlihat, juga karena onggokan sampah para petulang ini.

Kendati pihak pengelola TNGP sudah memampang tulisan yang berisi himbawan untuk membawa sampah kembali pada setiap pintu masuk kawasan taman nasional, toh kesadaran dan intelektualitas yang tinggi, tetap menjadi seleksi alam. Berdasarkan pengamatan, hanya beberapa pendaki saja yang dengan rela membawa semua sampah mereka turun, sisanya hanya sekedarnya saja, atau hanya sebagai persyaratan saja. Meski tidak dipungkiri ada juga yang dengan suka rela membawa sampah orang lain yang tidak bertanggung jawab.

Dan martabat seorang pendaki sedang di uji. Bagai mana kita bisa memberikan contoh dan perlindungan kepada alam. Bagaimana mereka yang mengakui, mengangkat diri mereka sebagai pencinta alam melakukan penganiayaan terhadap alam itu sendiri. Bukankah seharusnya pendaki menjadi contoh sebagai penyelamat lingkungan?

BELAJAR DARI BURUNG DAN CACING

Dizaman yang serba susah ini,kemiskinan semakin meningkat, belum lagi tingkat kriminal yang semakin tinggi karena nya meskipun tekhnologi dikatakan berkembang. Orang-orang berlomba untuk memenuhi kebutuhannya.Dan sayangnya tidak sedikit dengan cara yang tidak beretika dan bermoral seperti menjual dirinya,mencuri,merampas dan lain sebagainya.

Pada krisis moral yang berkepanjangan ini,marilah kita meluangkan waktu untuk bertafakur atau intropeksi sejenak,Seperti sebuah petuah “Bertafakur sejenak lebih baik dari pada ibadah satu tahun.”

Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi,maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing.Burung setiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan tanpa mengetahui dimana ia harus mendapatkannya. Karena itu, kadang kala sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang, kadangkala ia pulang dengan membawa oleh-oleh makanan untuk keluarganya, tapi sering juga ia pulang kesarang dengan perut yang masih keroncongan.Meskipun burung tampaknya lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya ‘kantor’ yang tetap (apalagi setelah lahannya berubah menjadi real estate),namun yang jelas kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri. Kita tidak pernah melihat burung yang tiba-tiba menukuik membenturkan kepalanya ke batu cadas, ataupun kita tidak pernah melihat ada burung yang sekonyong-konyong meluncurkan dirinya kedalam sungai. Nampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, sewaktu-waktu berada di atas, lain waktu terhempas kebawah. Sewaktu-waktu kekenyangan, lain waktu kelaparan.

Sekarang marilah kita lihat binatang yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Cacing seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk mencari makanannya. Cacing tidak mempunyai tangan, kaki, tanduk, atau bahkan mungkin ia tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi cacing serupa dengan makhluk Tuhan lainnya, yaitu ia mempunyai perut yang bila tidak diisi ia akan mati.

Jika kita bandingkan dengan manusia, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih daripada yang dimiliki cacing. Tetapi mengapa manusia yang diciptakan Tuhan paling sempurna dibandingkan dengan makhluk-mahkluk Nya yang lain itu, banyak yang kalah hanya dengan seekor cacing. Manusi banyak yang bunuh diri akibat merasa kesulitan dalam mencari nafkah hidupnya, sementara kita tidak pernah melihat ada cacing yang membentur-benturkan kepalanya kebatu??

Semoga kita bisa belajar dari hal kecil dalam hidup ini,yakinlah ketika kita yakin dan mau berusaha mencoba,Tuhan pasti akan member jalan dan mudah-mudahan disaat kita terhimpit dalam kesusahan untuk mencari kebutuhan materi, kita tidak rela kalah dengan burung apalagi cacing!

Senin, 17 Agustus 2009

puisi - puisi malam

Kepada hati yang tak pernah kau tanamkan,

Kepada rindu yang kauapkan,

Memalsu,

Menghitam kelam, penuh tanpa tanda arti,…